Jumat, 18 Januari 2013

Jalan-jalan Semarang Part-2


Haloo semua ! Sebelum lanjut nih, ternyata daerah jawa merupakan daerah yang banyak orang tidak bisa berbahasa indonesia dibandingkan dengan daerah indonesia. Hal ini disebabkan karena di daerah jawa dengan cakupan daerah yang luas menggunakan bahasa daerah yg sama, sedangkan di Indonesia bagian timur dengan jarak tidak terlalu jauh sudah menggunakan bahasa yang berbeda, jadilah bahasa indonesia menjadi bahasa pemersatu, penghubung di antar warga disana. Lah itulah yang saya alami selama berada di semarang, para penjual makanan biasanya menawarkan pilihan makanannya pake bahasa jawa. Waktu itu saya makan namanya nasi gandul, penampakannya ada nasi terus dikasi kuah yang banyak, kuahnya kaya gulai, tapi lebih encer. lalu penjualnya nanya pake bahasa jawa, saya bingung, mmm saya pikir mungkin dia nanya semacam isi buat nasinya. Yaa saya bilang semua aja bu. Daan akhirnya saya makan nasi gandulnya ada daging, ayam, ati, ampela, haha banyak bgt !
Selama diperjalanan di bus, sambil mengisi waktu, saya browsing tempat-tempat wisata di kota semarang. Ada banyak, trus saya pilih yang paling banyak diomongin orang dan yang unik. Jadilah pilihannya ke : Lawang Sewu, Masjid Agung Jawa Tengah, Museum Rekor Indonesia, Makan Lunpia Semarang.
Hari pertama rencana awalnya mau ke MURI, kira-kira 4 kilo dari daerah undip, itu menurut googlemaps, robby nya juga belum pernah. Tapi pas udah jalan, googlemaps udah nunjukin kalo tempatnya di tempat kami berdiri itu. Liat kiri kanan, ada pabrik, ada gedung tua nan sepi yang gerbangnya disatuin ama pabrik. Didepannya ada tukang ojek, nanya, orangnya ga tau, tiba-tiba pas mau cabut ada yg nyahut dari mereka, maksudnya museum jamu jago mas ? Yang itu mas, dia nunjukin gedung sepi tadi, temannya nimpalin, iya itu juga museum MURI. Kami masuk ke dalam pagar, ga ada tanda2 aktifitas, satpamnya juga ga ada pos nya. Setelah beberapa menit bengong, ada satpam yang datang. Ooo ternyata museumnya ga buka di hari libur. Ok besok deh MURI.
Hari pertama dialihkan ke Lawang Sewu. Informasi awal: Tempat ini dulunya pernah digunakan oleh belanda memenjarakan bangsa indonesia. Banyak yang meninggal disini, menjadikan gedung ini terkenal dengan cerita mistis nya. Katanya acara program uji nyali di tv juga beberapa kali di sini. Setibanya di lawang sewu, parkir di pinggir kali, ada hal baru bagi saya, uang parkirnya ditagih diawal, dan di jogja ternyata sama, dan anehnya pas pulang ke payakumbuh tiba-tiba uang parkirnya juga diminta diawal, padahal biasanya enggak. Lanjut, masuk ke kompleks lawang sewu bayar sepuluh ribu. Kalau mau pakai pemandu bisa juga, bayar lagi, tapi berhubung robby udah pernah kesana, dan masih ingat apa aja yang disampaein pemandunya, jadilah robby pemandu gratis hari ini. Memasuki gedung paling depan, sebuah lorong, khas bangunan zaman belanda, tinggi. Di kanan kiri ada pintu, ada ruangan. Pencahayaannya hanya dari matahari siang itu, jadilah lorong itu sedikit remang, mengeluarkan aura mistis nya. Katanya banyak foto yang menangkap energi-energi tersebut. Memasuki ruangan2, disana dipajang foto-foto jadul gedung ini, ada foto orang belanda, pribumi, yaa tergambar lah apa yang terjadi saat itu di gedung ini.

Gedung ini ada beberapa lantai, paling atas itu kaya di dalam loteng. Tapi jarak ke atasnya lumayan tinggi. Lanjut ke lantai paling bawah, ada ruangan bawah tanahnya. Ruangan ini digenangi air, kalo mau masuk harus sewa sepatu boot, sepuluh ribu lagi. Di dalam nya ada ruangan kecil, kaya sel. Disana para tahanan meringkuk, setengah berdiri. Kebayang gimana penderitaan saudara kita waktu itu.

Setelah muter semua gedungnya, duduk2 dulu, memperhatikan halaman luas gedung ini. Membayangkan 100 tahun yang lalu, para kompeni berlalu lalang, para pribumi jalan sambil nunduk. yaa semua tenggelam dalam sejarah. Baiklah, lawang sewu cukup lah. Sebelum cabut ada dawet, kebetulan. Ternyata dawet itu ga jauh beda dengan apa yang saya kenal dengan cindua. Yaah kecewa deh, sepuluh ribu untuk segelas cindua.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar