Ramadhan telah memasuki fase fase akhirnya. Hampir sebulan
kita menjalani berbagai ibadah istimewa, yang hanya ada di bulan ramadhan, baik itu puasa maupun tarawiah. Selain itu
juga banyak momentum-momentum kebangkitan yang tercatat dalam sejarah terjadi
di bulan ramadhan. Tentu kita ingin tahu apa makna semua itu. Mendalami makna
suatu hal, tentu akan lebih mudah jika kita merenungi apa yang menjadi pembeda
dalam hal itu. Dalam ramadhan, puasa tentu menjadi hal yang paling berbeda
dengan bulan-bulan lainnya. Mari kita selami apa yang menjadi maksud perintah
puasa itu sendiri. Dalam puasa, secara lahiriah kita diperintahkan untuk tidak
makan, minum dan berhubungan seks pada waktu yang telah ditentukan, dan lebih
lanjut lagi kita diperintahkan untuk meninggalkan pekerjaan yang tercela
lainnya. Makan, minum, dan hubungan seks adalah nafsu dasar pada diri manusia.
Seringkali ketika seseorang tidak berhasil dalam menahan ketiga ini, ia
cendrung tidak dapat menahan dirinya dari nafsu-nafsu lainnya, termasuk nafsu
yang dilarang. Lalu bagimanakah puasa mengajarkan kita untuk menahannya? Puasa
mengajarkan kita untuk menahannya secara ‘private’ , tidak ada orang lain yang
tahu kalau kita berpuasa maupun tidak. Hanya kita dan Allah. Itu juga salah
satu alasan mengapa puasa disebut ibadah ‘milik’ Allah. Tidak ada kontrol sosial dalam ibadah ini,
satu-satunya kontrol adalah kesaksian kita pada Allah, rasa percaya kita bahwa
dimanapun kita berada adalah dibawah pengawasan Allah. Itulah makna dari tujuan
puasa, menuju taqwa, suatu keadaan ketika seseorang melakukan sesuatu atas
kesaksiannya kepada Allah, bukan atas maksud-maksud lainnya, serta merasa
selalu dibawah pengawasan Allah dimanapun dan kapanpun. Itulah makna dari puasa
adalah bulan ‘latihan’. Kita berlatih menahan minimal nafsu dasar kita untuk
kemudian kita dapat menahan semua keinginanan diri yang dilarang oleh Allah.
Kita belajar menahan nafsu itu dari terbit fajar hingga terbenam matahari,
untuk kita belajar tidak dikendalikan nafsu itu kapan pun.
Ramadhan telah memasuki fase-fase akhirnya. Sejauh manakah kita telah mendapatkan ‘pelajaran’ yang dikehendaki oleh datangnya ramadhan itu sendiri? Sejauh manakah kita dapat mengendalikan nafsu diri kita? Sejauh manakah kita merasa selalu diawasi oleh Allah ? Sejauh manakah kita merasa bahwa apa yang kita lakukan adalah untuk Allah ? Sejauh mananakah latihan-latihan itu telah masuk kedalam diri kita ? Mari kita renungkan sejenak. Sejauh mana kita tidak terjebak kepada ‘ritual’ ramadhan belaka tanpa mengambil pelajaran dan latihan yang terdapat padanya? Mari kita pandang kepada hari-hari yang tersisa dalam ramadhan kali ini. Kita maksimalkan.
Ramadhan telah memasuki fase-fase akhirnya. Suatu malam istimewa akan datang. Begitu istimewa, sama dengan seribu bulan nilainya, Lailatur Qadr. Malam itu akan bertamu dalam sepuluh hari terakhir ramadhan. Siapakah yang akan ditemui oleh sang tamu? Syaratnya adalah, pertama orang yang berdiam diri di masjid pada malam itu. Kemudian adalah orang yang berhasil melewati ramadhan nya. Malam ini ibarat sebuah penganugrahan Allah terhadap orang yang berhasil menggapai Ramadhannya, Allah menganugrahi dengan nilainya yang sama dengan seribu bulan. Malam ini pasti akan datang, tamu itu pasti akan datang, tapi akankah tamu itu akan menemui kita? Atau hanya melewati kita begitu saja ? Masih ada waktu beberapa hari lagi untuk kita menjawabnya melalui ibadah kita di sisa Ramadhan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar